Selasa, 10 Agustus 2010

Seputar Thowaf dan Sa'i

Seputar Tawaf


Tawaf
Dari Ibnu Abbas r.a. bahwa Nabi saw. bersabda, ”Thawaf di (sekeliling) Baitullah adalah seperti shalat, melainkan kalian sewaktu thawaf boleh berbicara, maka barangsiapa yang berbicara pada waktu itu, janganlah berbicara, kecuali yang baik.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no:121, Tirmidzi II:217 no:267, Shahih Ibnu Khuzaimah IV:222 no:2739, Shahih Ibnu Hibban 247 no:998, Sunar Darimi I:374 no:1854, Mustadrak Hakim I:459 dan Baihaqi V:85).
Maka, manakala thawaf disamakan dengan shalat dalam beberapa hal, maka ia memiliki sejumlah persyaratan:

  1. Suci dari hadats besar dan kecil Hal ini didasarkan pada sabda Nabi saw. ”Allah tidak akan menerima shalat (yang dilaksanakan) tanpa bersih (sebelumnya).” dan sabda beliau kepada Aisyah r.a. yang datang bulan ketika sedang menunaikan ibadah haji, ”Laksanakanlah apa yang dilaksanakan oleh seorang yang haji, kecuali [satu hal] janganlah engkau thawaf di Baitullah sehingga engkau mandi bersih (dari haidh).” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari III:504 no.1650, dan Muslim II:873 no:117 dan 1211).

  2. Menutup auratAllah SWT berfirman, "Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid." (Al-A'raaf: 31)
    Dan berdasarkan hadits Rasulullah saw, dari Abu Hurairah r.a. bahwa Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. pernah mengutusnya pada waktu memimpin ibadah yang telah diperintahkan Rasulullah saw. sebelum haji wada’, pada hari Nahar [tanggal 10 Dzhulhijjah, pent.] bersama sejumlah sahabat untuk menyampaikan kepada masyarakat luas larangan dari beliau: Setelah tahun ini, tidak boleh (lagi) ada orang musyrik yang menunaikan ibadah haji dan tidak boleh (pula) melakukan thawaf dengan telanjang bulat di Baitullah. (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari I:477 no:369, Muslim II:982 no:1347, ’Aunul Ma’bud V:421 no:1930, dan Nasa’i V:234).

  3. Melakukan thawaf tujuh kali putaran sempurna, karena Nabi saw. melakukannya tujuh kali putaran, sebagaimana yang ditegaskan Ibnu Umar ra, ”Datang ke Mekkah, lalu thawaf di Baitullah tujuh kali putaran dan shalat dibelakang maqam Ibrahim dua raka’at, melakukan sa’i antara Shafa dan Marwah sebanyak tujuh kali; dan sungguh pada diri Rasulullah saw. itu terdapat suri tauladan yang baik bagi kalian”. Dengan demikian perbuatan, Rasulullah saw. ini sebagai penjelasan bagi firman Allah Ta’la, ”Dan hendaklah mereka melakukan thawaf di sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah)." (Al-Hajj:29).
    Jika seseorang yang menunaikan manasik haji sengaja meninggalkan sebagian dari tujuh putaran, walaupun sedikit, maka tidak cukup baginya, dan ia harus menyempurnakannya. Jika dia ragu-ragu maka peganglah bilangan yang paling sedikit sehingga dia yakin.

  4. Memulai thawaf dari Hajar Aswad dan berakhir di situ juga, dengan menempatkan Baitullah berada di sebelah kiri. Hal ini berdasarkan pada pernyataan Jabir r.a., ”Tatkala Rasulullah saw. tiba di Mekkah, beliau mendatangi Hajar Aswad lalu menjamahnya, kemudian berjalan di sebelah kanannya, lalu berlia lari-lari kecil tiga kali putaran [pertama, pent.] dan berjalan biasa empat kali putaran sisanya.”

  5. jadi, andaikata seseorang melakukan thawaf, sementara Baitullah berada di sebelah kanannya, maka tidak sah thawafnya.

  6. Hendaknya thawaf dilakukan di luar Baitullah. Allah SWT berfirman, "Dan hendaklah mereka melakukan thawaf di sekeliling rumah yang tua (Baitullah)." (Al-Hajj:29).

  7. Firman Allah di atas meliputi seluruh thawaf. Kalau ada orang yang thawaf di Hijr Isma’il, maka tidak sah thawafnya, karena Nabi saw menegaskan, "Hijr Isma’il termasuk Baitullah." (Shahih: Irwa-ul Ghalil:1704)

  8. Harus berurutan langsung (tidak diselingi oleh pekerjaan lain), karena Nabi saw. melakukannya demikian dan Rasulullah saw. bersabda, "Ambillah dariku manasik hajimu." (Shahih: Irwa-ul Ghalil:1704). Jika terhenti sejenak untuk berwudlu’, atau untuk shalat fardhu yang telah dikumandangkan iqamahnya, atau untuk istirahat sejenak, maka tinggal melanjutkan kekurangannya. Namun jika terputus dalam waktu yang cukup lama, maka hendaklah ia memulai lagi dari awal. [ dirangkum dari berbagai sumber]
Untuk mengingat kembali manasik haji tentang pelaksanaan tawaf beserta do'a yang perlu dibaca, Anda bisa melihat diagram pelaksanaan tawaf di bawah ini.
Diagram Pelaksanaan Tawaf
atau jika Anda mau melihat file diagram pelaksanaan tawaf bisa diunduh (dowload) di sini.
Tanda start/finish Tawaf di lantai-1 (ditandai dengan neon warna hijau)

sunnah ketika akan tawaf, masuk masjidil haram melalui pintu Assalam (Babussalam)
Catatan: garis coklat tanda posisi start tawaf saat ini sudah tidak ada lagi sebagai gantinya Anda harus melihat lampu neon berwarna hijau yang terletak didinding bagunan masjid setentang dengan sudut hajar aswad (lihat gambar di atas). Bagi Anda yang berusia lanjut khususnya yang akan menggunakan kursi roda, maka tempat tawafnya di lantai dua atau tiga. Di lantai atas ini disedikan fasilitas lintasan khusus untuk kursi roda. Untuk menandai kapan dimulainya tawaf dan berakhir 1 putaran tawaf, disana ada tanda menggunakan lampu yang bertuliskan " Begining and completion of Tawaf " yang menandakan Start dan Finish tawaf.


Tanda mulai dan akhir putaran tawaf dilantai atas

Lintasan khusus Kursi Roda untuk Tawaf di Lantai atas
Visualisasi pelaksanaan tawaf bisa Anda lihat pada tanyangan video ini (size. 11,3 Mb). Ada beberapa catatan yang perlu dicermati dalam visualisasi ini adalah untuk lari-lari kecil hanya diperuntukkan bagi jamaah laki-laki sedangkan untuk perempuan cukup dengan jalan biasa. Ram'l atau lari-lari kecil ini hanya untuk 3 putaran pertama saja. Beberapa bacaan yang disunnahkan oleh Rasulullah dapat Anda lihat lagi pada postingan saya tentang manasik haji dan umrah, Rangkuman Buku Hajjaturasul.
Tips:
sebelum memulai tawaf sebaiknya berputarlah dulu mengelilingi ka'bah untuk satu kali putaran sebagai penjajagan / pengenalan medan. Jangan memotong lintasan jamaah yg sedang tawaf apalagi berlawanan arah untuk menuju sudut start.

Seputar Sa'i

gbr. Tempat Sa'i yang baru, lintasan tengah



Untuk sahnya sa’i ada sejumlah persyaratan:

  1. Sa’i dilakukan sesudah melakukan thawaf

  2. Harus tujuh kali lintasan

  3. Dimulai dari bukit Shafa dan diakhir di bukit Marwah.

  4. Hendaknya sa’i dilakukan di lokasi sa’i [mas’a], yaitu jalan yang memanjang antara bukit Shafa dan Marwah. Begitulah Nabi saw. mengerjakannya. Di samping itu, beliau bersabda, ”Ambillah dariku manasik hajimu.”

  5. Dimulai dari bukit Safa dan berakhir dibukit Marwa

Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 494 -- 497.
Gbr. setelah selesai tawaf menuju ke Bukit Safa untuk sa'i
(lihat gerbangnya pada bagian yg dilingkari)
Renovasi masjidil haram terus dilaksanakan untuk memberi kemudahan bagi tamu-tamu Allah yang akan menunaikan Ibadah Haji dan Umrah.Perkembangan renovasi untuk masa'i saat ini sudah selesai dan Insya Allah bagi Anda yang memperoleh kemudahan untuk menunaikan rukun Islam ke-5 ataupun umrah sudah dapat menikmati fasilitas ini dengan nyaman karena sudah cukup luas.


Gbr. Tempat Sa'i yang baru, lintasan pinggir

Gbr.bagian tengah lintasan sai

Di Bagian tengah lintasan diperuntukkan khusus bagi jamaah yang menggunakan kursi roda. Jadi jika Anda masih sehat maka lintasan yang Anda ambil adalah di bagian kanan dan kiri lintasan. Di bagian pinggir lintasan (di daerah antara Safa - Marwa) ditempatkan galon disepenser air zamzam yang dapat Anda manfaatkan ketika haus. Jika pada saat pelaksanaan sa'i terdengar adzan sholat, maka hentikanlah sa'i Anda, dan mulailah membuat shaf untuk sholat. setelah sholat Anda bisa lanjutkan lagi sa'i yang tertinggal tadi (sisanya saja tidak perlu mengulang dari awal lagi). Adapun bacaan do'a yang perlu Anda persiapkan adalah yang sesuai dengan tuntunan manasik haji Rasulullah. Untuk mengingat kembali manasik haji Anda, dalam pelaksanaan sa'i beserta do'a ringang yang bisa dibaca, Anda bisa melihat diagram sa'i berikut ini :

Diagram Pelaksanaan Sa'i 


Sumber : http://abusyafwan.blogspot.com/search?updated-min=2008-01-01T00%3A00%3A00%2B08%3A00&updated-max=2009-01-01T00%3A00%3A00%2B08%3A00&max-results=34

Menyiasati Makanan selama di Tanah Suci........


Keebab
Makanan sering menjadi persoalan bagi jamaah haji. Jemaah haji akan berada cukup lama di Tanah Suci. Sehingga jika persoalan makan tak diperhatikan, tentunya akan berdampak bagi kondisi kesehatan. Jika kesehatan memburuk sudah tentu ibadah akan terganggu. Persoalan makan mulai timbul sejak masuk di asrama haji, berlanjut di bandara, selama perjalanan ke Madinah dan Makkah, hingga sampai ditempat tujuan.
Di asrama haji embarkasi Palembang (Tahun 1427 H mulai menjadi embarkasi haji pertama kalinya), masih banyak jemaah yang terlambat mendapat jatah makan. Di bandara, bisa terjadi jamaah harus menunggu berjam-jam hal ini terjadi saat kami akan pulang ke Indonesia dimana tidak mendapat jatah makan dan baru mendapat makan ketika sudah terbang. Sedangkan dalam perjalanan dari Jeddah ke Madinah ketika berhenti di Wadi Qudaid, saat ini sudah tidak ada jatah makan lagi dan lagi ditempat pemberhentian ini tidak menjual makanan seperti nasi, paling hanya teh,kopi dan susu itupun kita beli sendiri.
Sarapan pagi dengan Donut..ada koq.


Untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan itu, sebaiknya tiap jamaah bisa menyediakan makanan kecil di tas tentengannya masing-masing. Jamaah bisa membawa persediaan biskuit, roti, kacang-kacangan, dan minuman kotak.

Packaging catering di Madinah

Selama di Tanah Suci jamaah bisa membeli makanan atau memasak sendiri (namun sebaiknya untuk lebih konsentrasi ke ibadah, tidak usah ada kegiatan masak memasak). Makanan jadi (siap santap) mudah didapat di Madinah dan Makkah. Kalau di Madinah, jemaah haji saat ini mendapat jatah makan sebanyak 2 kali dalam sehari (makan siang dan makan malam). Teorinya begitu, tapi di lapangan banyak teori tak sesuai kenyataan. Kendala yang sering muncul dimana waktu datang makanan ini tak selalu tepat. Makan siang kadang datang molor hingga pukul 16.00. Makan malam, ada yang baru datang pukul 21.00. Tak hanya soal waktu kedatangan, menunya pun kadang bikin keki. Bersiaplah untuk mendapat menu nasi, buncis, daging kambing, atau ayam berulang-ulang. Soal rasa, jangan tanya. Yang penting dimakan saja. Namun kalau merasa bosan, banyak yang menjual aneka makanan dari berbagai roti sampai nasi plus lauk pauknya. Yang celakanya catering haji ini ada batas waktu penyajian, terkadang jamaah mendapat jatah makan yang sudah memasuki injury time sehingga bisa menimbulkan penyakit (hati-hati kalau sajian makanan sejenis daging yang sudah menunjukkan tanda berbusa, walaupun sajian tsb Anda terima dalam keadaan hangat tetapi sebenarnya makanan tsb sudah rusak. Hal ini pernah dialami jamaah kami sehingga menimbulkan sakit perut).
Belanja makan di Restoran Indonesia

Berbagai Jenis Menu Indonesia (1 porsi lengkap mulai dari 5 s/d 10 Rls)


Mau menu lainnya....tinggal pilih (bungkus lalu bayar di kasir)


Kalau di Mekkah banyak kita jumpai pedagang TKW Indonesia yang menawarkan makanan disepanjang jalan yang kita lalui bahkan sampai ke depan pintu penginapan. Harganya cukup murah nasi putih 1 riyal, ikan 1 riyal, ayam 3 riyal, rata2 sayuran (asem,soto,sop,dll) harganya 1 riyal. (satu riyal sekitar Rp 2.600). Namun pengalaman saya beli makanan di pedagang TKW pada musim haji tahun ini cukup mengecewakan, karena mereka menjual makanan seenaknya saja, disamping ukurannya sedikit juga tidak berkualitas (bahan makanan yg sdh tidak laku kemarin masih dijual lagi) ini terjadi hampir disemua penjual disepanjang jalan menuju Hafair. Padahal waktu haji tahun 2003 sebelumnya di wilayah Azijiyah para pedagang ini menjual dagangan yang cukup memuaskan.
Kapok dengan penyajian dari penjual TKW, kami mencoba beli makanan di warung / restoran Indonesia, kalau di wilayah Hafair ada warung Indonesia khas Jakarta, Madura, Bogor. harganya ternyata malah lebih murah dibanding kalau kita beli di kaki lima atau di si mbak dipinggir jalan tadi, kelebihan lain makanan juga masih fresh, menunya macem-macem (soto, sop, kari, sate,bakso,dll) serasa kita di Indonesia sehingga dengan kondisi makanan yang terjamin bisa menghindarkan kita dari penyakit diare yang mungkin dapat menyerang kita ketika kondisi tubuh sedang menurun.



Nasi Briyani

Atau mau coba nasi Mandi
Kalau mau variasi kita bisa juga mencoba makan masakan Arab, seperti : nasi kebuli / nasi briyani, kebab, panggang sapi/ ayam, kambing juga ada atau mau yang ala India sepeti roti cane, martabak india, kare kambing,sop kambing. Harganya di atas 5 riyal. Ingat sebelum makan ketahui dulu secara pasti berapa harganya, untuk itu jangan segan-segan menanyakan ke pelayan resto tersebut.


Jatah Makan di Mina
Selama di Arafah dan Mina, makanan disediakan. Namun pada musim Haji 1427 H memang terjadi kendala pendistribusian. Musibah itulah salah satu kata yg menghiasi media pada pelaksanaan Ibadah Haji 1427 H. Berita kelaparan seputar pelaksanaan haji ARMINA (Arafah, Mina dan Musdalifah) menjadi bahan ulasan dari media elektronik dan cetak di Indonesia. Beragam pengalaman yang bisa kita dengar akan diekspresikan oleh saudara-saudara kita yang baru pulang dari pelaksanaan haji.
Kebetulan sebelum ke Arafah saya dan rombongan berjumlah 13 orang menuju ke Mina terlebih dahulu untuk mabit disana, kami lihat makanan yang dimasak di Mina memang banyak yang tidak terkirim sehingga banyak mubazir. Hal inilah yg menyebabkan banyak jemaah haji yang tidak mendapat jatah makanan sampai masuk ke Muzdalifahpun belum ada pembagian jatah makan. Alhamdulillah kami sudah membawa bekal baik roti maupun nasi dari Mekkah karena memang kami berpisah dari rombongan besar sehingga kami tidak terlalu merasakan kelaparan seperti saudara-saudara kami yang lain. Namun para jemaah kami lihat sangat tabah dalam menerima cobaan ini, karena semua yakin Allah akan mengganti dengan yang lebih baik jika kita mampu ikhlas menerimanya, tentu....haji 1427H ditetapkan sebagai haji akbar, sama seperti pelaksanaan hajinya Rasulullah (wukuf bertepatan hari jum'at) tentunya ini juga faktor yang membuat kesabaran jemaah haji cukup tinggi.
Dalam perjalanan ARMINA, jangan lupa membawa makanan kecil karena sangat mungkin perjalanan ke Arafah dan kembali ke Mina memakan waktu lama. Jika jamaah ke Arafah dengan jalan kaki, jangan lupa bekali tas ransel dengan makanan dan minuman serta buah-buahan, mengantisipasi kesulitan mendapat makan di jalan. Pengalaman waktu haji 1426H banyak jamaah haji dari Indonesia yang kelaparan, Alhamdulillah kami yang pisah dari rombongan dengan antisipasi bekal seperti ini, tidak mengalami kelaparan sebagaimana yg dialami saudara-saudara kita yang lain.
Selama di Tanah suci bila tidak ingin memasak jamaah haji bisa membawa makanan yang tahan lama dari Tanah Air. Misalnya rendang, abon, dendeng, sambal goreng kacang, kecap, mie instant, saus tomat atau sambal sachet atau makanan lainnya sesuai khas dari masing-masing daerah (kalau dari Palembang anda bisa bawa cuko kental, bisa beli yg sudah jadi di toko kerupuk, nanti disana tinggal ditambah air, cuko ini bisa jadi teman makan bala-bala yang mudah didapat kalau mau beli disana). Makanan khas Tanah Air ini sangat membantu untuk mempertahankan nafsu makan. Kita beribadah kalau logistik menunjang kan ibdah jadi lancar juga.
Kalau ingin memasak sebaiknya beli peralatan masak disana saja. Barang-barang itu bisa mudah didapatkan di Tanah Suci. Sia-sia saja memasukkan perlengkapan tersebut ke dalam koper, karena pasti nanti akan dirazia di embarkasi dan lagi akan menambah beban barang bawaan kita aja. Bahan-bahan masakan juga bisa didapat dengan mudah di Makkah maupun Madinah. Sayuran, beras, buah, telur, ikan, daging, bisa mudah dibeli. Ada baiknya bumbu dibawa dari Tanah Air. Kalau saranku sih, dengan informasi mudahnya memperoleh makanan selama di atanah suci, ngga usah repot-repot masak deh..beli aja di resto Indonesia (jangan di mbak-mbak yang jualan dipinggir jalan karena harganya hampir sama koq. bahkan cenderung mahal). Konsentrasikan tenaga dan pikiran kita selama di tanah suci hanya untuk keperluan Ibadah daripada harus ribet dengan acara masak memasak. Lagian Living Cost yang dikembalikan ke jamaah sebesar 1500 Riyals sudah lebih dari cukup untuk keperluan makan di sana(udah termasuk bayar Dam lagi, untuk amannya pisahkan dulu uang untuk bayar dam dengan keperluan makan kalau perlu bayarkan di awal ke ketua rombongan uang Dam tsb sehingga tidak jadi pikiran lagi). Untuk jamaah ONH Plus, makanan sepertinya tak menjadi persoalan. Hanya saja kadang-kadang makanan jatah jamaah haji yang diberikan selama di Madinah dan Arafah, Mina rasanya tak selalu cocok dengan lidah orang Indonesia. Jadi jangan bayangkan soto selalu berasa soto seperti yang biasa dimakan di Tanah Air. (source photo :yayansuyanto)

Sumber : http://abusyafwan.blogspot.com/search?updated-min=2008-01-01T00%3A00%3A00%2B08%3A00&updated-max=2009-01-01T00%3A00%3A00%2B08%3A00&max-results=34

Anggota Haji Klego Tahun 2009 ( Karom 3, SOC 30 )

Sabtu, 07 Agustus 2010

Jumat, 06 Agustus 2010

Sebelas Alasan Tidak Melakukan Umrah Berulang Kali Saat Berada Di Mekkah


SEBELAS ALASAN TIDAK MELAKUKAN UMRAH BERULANG KALI DI SAAT BERADA DI MEKKAH

Oleh
Ustadz Muhammad Ashim bin Musthafa


Ada satu fenomena yang umum disaksikan pada kalangan jamaah haji Indonesia dan juga negara lainnya. Saat berada di kota suci Mekkah, banyak yang berbondong-bondong menuju tanah yang halal, yaitu al hillu, Masjid ‘Aisyah di Tan’im atau Ji’ranah. Tujuannya untuk melaksanakan umrah lagi. Umrah yang mereka kerjakan bisa lebih dari sekali dalam satu hari. Dalih mereka, mumpung sedang berada di Mekkah, sepantasnya memperbanyak ibadah umrah, yang belum tentu bisa dikerjakan lagi sesudah sampai di tanah air. Atau dengan kata lain, untuk memperbanyak pahala. Saking berlebihannya, Syaikh Muhammad bin Shalih al 'Utsaimin penuh keheranan pernah menyaksikan seorang laki-laki yang sedang mengerjakan sa'i dengan rambut tersisa separo saja (sisi yang lain gundul). Syaikh 'Utsaimin pun bertanya kepadanya, dan laki-laki tersebut menjawab : “Bagian yang tak berambut ini telah dipotong untuk umrah kemarin. Sedangkan rambut yang tersisa untuk umrah hari ini”. [1]

SELAIN IKHLAS, IBADAH MEMBUTUHKAN MUTABA’AH
Suatu ibadah agar diterima oleh Allah, harus terpenuhi oleh dua syarat. Yaitu ikhlas dan juga harus dibarengi dengan mutaba’ah. Sehingga tidak cukup hanya mengandalkan ikhlas semata, tetapi juga harus mengikuti petunjuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Disamping itu juga dengan mengetahui praktek dan pemahaman generasi Salaf dalam menjalakan ibadah haji yang pernah dikerjakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sebab, generasi Salaf merupakan generasi terbaik, yang paling semangat dalam meraih kebaikan.

Umrah termasuk dalam kategori ini. Sebagai ibadah yang disyariatkan, maka harus bersesuaian dengan rambu-rambu syari'at dan nash-nashnya, petunjuk Nabi dan para sahabat, serta para pengikut mereka yang ihsan sampai hari Kiamat. Dan ittiba’ ini merupakan salah satu tonggak diterimanya amalan di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Sebagai ibadah yang sudah jelas tuntunannya, pelaksanan umrah tidak lagi memerlukan ijtihad padanya. Tidak boleh mendekatkan diri kepada Allah melalui ibadah umrah dengan ketentuan yang tidak pernah digariskan. Kalau tidak mengikuti petunjuk syariat, berarti ibadah yang dilakukan menunjukkan sikap i’tida` (melampaui batas) terhadap hak Allah, dalam aspek penetapan hukum syariat, serta merupakan penentangan terhadap ketentuan Allah dalam hukumNya. Allah berfirman : "Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zhalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih" [Asy Syura /42: 21][2]

JUMLAH UMRAH RASULULLAH SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM
Sepanjang hidupnya, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan umrah sebanyak 4 kali.

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ اعْتَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْبَعَ عُمَرٍ عُمْرَةَ الْحُدَيْبِيَةِ وَعُمْرَةَ الْقَضَاءِ مِنْ قَابِلٍ وَالثَّالِثَةَ مِنْ الْجِعْرَانَةِ وَالرَّابِعَةَ الَّتِي مَعَ حَجَّتِهِ

Dari Ibnu 'Abbas, ia berkata : "Rasulullah mengerjakan umrah sebanyak empat kali. (Yaitu) umrah Hudaibiyah, umrah Qadha`, umrah ketiga dari Ji'ranah, dan keempat (umrah) yang bersamaan dengan pelaksanaan haji beliau".[3]

Menurut Ibnul Qayyim, dalam masalah ini tidak ada perbedaan pendapat [4]. Setiap umrah tersebut, beliau kerjakan dalam sebuah perjalanan tersendiri. Tiga umrah secara tersendiri, tanpa disertai haji. Dan sekali bersamaan dengan haji.
Pertama, umrah Hudhaibiyah tahun 6 H. Beliau dan para sahabat yang berbaiat di bawah syajarah (pohon), mengambil miqat dari Dzul Hulaifah Madinah. Pada perjalanan umrah ini, kaum Musyrikin menghalangi kaum Muslimin untuk memasuki kota Mekkah. Akhirnya, terjadilah pernjanjian Hudhaibiyah. Salah satu pointnya, kaum Muslimin harus kembali ke Madinah, tanpa bisa melaksanakan umrah yang sudah direncanakan.

Kemudian, kaum Muslimin mengerjakan umrah lagi pada tahun berikutnya. Dikenal dengan umrah Qadhiyyah atau Qadha`[5] tahun 7 H. Selama tiga hari beliau n berada di Mekkah. Dan ketiga, umrah Ji’ranah pada tahun 8 H. Yang terakhir, saat beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengerjakan haji Wada’. Semua umrah yang beliau kerjakan terjadi pada bulan Dzul Qa`dah.[6]

SEBELAS ALASAN TIDAK MELAKUKAN UMRAH BERULANG KALI
Para ulama memandang, melakukan umrah berulang kali sebagai perbuatan yang makruh. Masalah ini telah dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Fatawanya. Keterangan beliau tersebut dikutip oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin dalam Syarhul Mumti’. [7]

Berikut ini beberapa aspek yang menjelaskan bahwa umrah berulang-ulang seperti yang dikerjakan oleh sebagian jamaah haji –sebagaimana fenomena di atas- tidak disyariatkan.

Pertama : Pelaksanaan empat umrah yang dikerjakan Rasulullah, masing-masing dikerjakan dengan perjalanan (safar) tersendiri. Bukan satu perjalanan untuk sekian banyak umrah, seperti yang dilakukan oleh jamaah haji sekarang ini. Syaikh Muhammad bin Shalih al 'Utsaimin menyimpulkan, setiap umrah mempunyai waktu safar tersendiri. Artinya, satu perjalanan hanya untuk satu umrah saja [8]. Sedangkan perjalanan menuju Tan’im belum bisa dianggap safar. Sebab masih berada dalam lingkup kota Mekkah.

Kedua : Para sahabat yang menyertai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam haji Wada’, tidak ada riwayat yang menerangkan salah seorang dari mereka yang beranjak keluar menuju tanah yang halal untuk tujuan umrah, baik sebelum atau setelah pelaksanaan haji. Juga tidak pergi ke Tan’im, Hudhaibiyah atau Ji’ranah untuk tujuan umrah. Begitu pula, orang-orang yang tinggal di Mekkah, tidak ada yang keluar menuju tanah halal untuk tujuan umrah. Ini sebuah perkara yang disepakati dan dimaklumi oleh semua ulama yang mengerti sunnah dan syariat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.[9]

Ketiga : Umrah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam yang dimulai dari Ji’ranah tidak bisa dijadikan dalil untuk membolehkan umrah berulang-ulang. Sebab, pada awalnya beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam memasuki kota Mekkah untuk menaklukannya dalam keadaan halal (bukan muhrim) pada tahun 8 H. Selama tujuhbelas hari beliau berada di sana. Kemudian sampai kepada beliau berita, kalau suku Hawazin bermaksud memerangi beliau. Akhirnya beliau mendatangi dan memerangi mereka. Ghanimah dibagi di daerah Ji’ranah. Setelah itu, beliau ingin mengerjakan umrah dari Ji’ranah. Beliau tidak keluar dari Mekkah ke Ji’ranah secara khusus. Namun, ada perkara lain yang membuat beliau keluar dari Mekkah. Jadi, semata-mata bukan untuk mengerjakan umrah.[10]

Keempat : Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, juga para sahabat -kecuali ‘Aisyah- tidak pernah mengerjakan satu umrah pun dari Mekkah, meski setelah Mekkah ditaklukkan. Begitu pula, tidak ada seorang pun yang keluar dari tanah Haram menuju tanah yang halal untuk mengerjakan umrah dari sana sebelum Mekkah ditaklukkan dan menjadi Darul Islam. Karena thawaf di Ka’bah tetap masyru’ sejak Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam diutus. Bahkan sejak Nabi Ibrahim Alaihissalam. Mengerjakan thawaf tanpa umrah terlebih dahulu, sudah mengantarkan kepada sebuah ketetapan yang pasti, bahwa perkara yang disyariatkan bagi penduduk Mekkah (orang yang berada di Mekkah) adalah thawaf. Itulah yang lebih utama bagi mereka dari pada keluar dari tanah Haram untuk mengerjakan umrah. Sebab, tidak mungkin Rasulullah dan para sahabat lebih mengutamakan amalan mafdhul/ (yang nilainya kurang) -dalam hal ini thawaf- dibandingkan amalan yang lebih afdhal (umrah menurut asumsi sebagian jamaah haji). Padahal Nabi n tidak memerintahkan umat untuk melakukan umrah berulang-ulang. Ucapan ini tidak mungkin dikatakan oleh seorang muslim.[11]

Ibnul Qayyim berkata,"Tidak ada umrah beliau dalam keadaan beliau keluar dari Mekkah sebagaimana dilakukan oleh kebanyakan orang sekarang ini. Seluruh umrah beliau, dilangsungkan dari luar kota Mekkah menuju Mekkah (tidak keluar dahulu baru masuk kota Mekkah). Nabi pernah tinggal di Mekkah selama 13 tahun. Namun tidak ada riwayat yang menjelaskan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar kota Mekkah untuk mengerjakan umrah.

Jadi umrah yang beliau kerjakan dan yang disyariatkan adalah, umrah orang yang memasuki kota Mekkah (berasal dari luar Mekkah), bukan umrah orang yang berada di dalamnya (Mekkah), dengan menuju daerah yang halal (di luar batas tanah haram) untuk mengerjakan umrah dari sana. Tidak ada yang melakukannya di masa beliau, kecuali 'Aisyah semata…[12]

Kelima : Tentang umrah yang dilakukan oleh ‘Aisyah pada haji Wada’ bukanlah berdasarkan perintah Nabi. Beliau mengizinkannya setelah 'Aisyah memohon dengan sangat.[13]

Kisahnya, pada waktu menunaikan ibadah haji bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, 'Aisyah mendapatkan haidh, maka Rasulullah memerintahkan saudara ‘Aisyah yang bernama ‘Abdurrahman bin Abu Bakar mengantar ‘Aisyah ke daerah Tan’im, agar ia memulai ihram untuk umrah disana. Karena 'Aisyah menyangka, bahwa umrah yang dilakukan bersamaan dengan haji, akan batal, sehingga ia menangis. Kemudian untuk menenangkannya, maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengijinkan 'Aisyah melakukan umrah lagi.

Umrah yang dilakukan ‘Aisyah ini sebagai pengkhususan baginya. Sebab, belum didapati satu pun dalil dari seorang sahabat laki-laki ataupun perempuan yang menerangkan bahwa ia pernah melakukan umrah usai melaksanakan ibadah haji, dengan memulai ihram dari kawasan Tan’im, sebagaiamana yang telah dilakukan 'Aisyah Radhiyallahu 'anha. Andaikata para sahabat mengetahui perbuatan ‘Aisyah tersebut disyariatkan juga buat mereka pasca menunaikan ibadah haji, niscaya banyak riwayat dari mereka yang menjelaskan hal itu.

Ibnul Qayyim mengatakan, (Umrah ‘Aisyah) menjadi dasar tentang umrah dari Mekkah. Tidak ada dalil bagi orang yang menilainya (umrah berulang-ulang) selainnya. Sesungguhnya Nabi dan sahabat yang bersama beliau dalam haji (Wada’) tidak ada yang keluar dari Mekkah, kecuali ‘Aisyah saja. Kemudian orang-orang yang mendukung umrah dari Mekkah, menjadikan riwayat tersebut sebagai dasar pendapat mereka. Tetapi, kandungan riwayat tersebut tidak ada yang menunjukkan dukungan terhadap pendapat mereka.[14]

Imam asy Syaukani rahimahullah berkata,"Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah berumrah dengan cara keluar dari daerah Mekkah ke tanah halal, kemudian masuk Mekkah lagi dengan niat umrah, sebagaimana layaknya yang dilakukan kebanyakan orang sekarang. Padahal, tak satupun yang sah yang menerangkan ada seorang sahabat melakukan yang demikian itu”.[15]

Keenam : Kaum Muslimin bersilang pendapat tentang hukum umrah, apakah wajib ataukah tidak. Para ulama yang memandang umrah itu wajib seperti layaknya haji, mereka tidak mewajibkannya atas penduduk Mekkah. Imam Ahmad pernah menukil perkataan Ibnu 'Abbas: “Wahai penduduk Mekkah, tidak ada kewajiban umrah atas kalian. Umrah kalian adalah thawaf di Ka’bah”.

‘Atha bin Abi Rabah [16] –ulama yang paling menguasai manasik haji dan panutan penduduk Mekkah– berkata : “Tidak ada manusia ciptaan Allah kecuali wajib atas dirinya haji dan umrah. Dua kewajiban yang harus dilaksanakan bagi orang yang mampu, kecuali penghuni Mekkah. Mereka wajib mengerjakan haji, tetapi tidak wajib umrah, karena mereka sudah mengerjakan thawaf. Dan itu sudah mencukupi”.

Thawus [17] berkata: “Tidak ada kewajiban umrah bagi orang yang berada di Mekkah”. (Riwayat Ibnu Abi Syaibah).

Berdasarkan beberapa keterangan para ulama Salaf tersebut, menunjukkan bahwa bagi penduduk Mekkah, mereka tidak menilai sunnah, apalagi sampai mewajibkannya. Seandainya wajib, maka sudah pasti Nabi n memerintahkannya atas diri mereka dan mereka akan mematuhinya. Tetapi, tidak ada riwayat yang menjelaskan tentang orang yang berumrah dari Mekkah di masa Nabi masih hidup, kecuali ‘Aisyah saja. Kisah ini sudah dijelaskan persoalannya di atas.

Karenanya, para ulama hadits, bila ingin menulis tentang umrah dari Mekkah, mereka hanya menyinggung tentang kejadian ‘Aisyah saja. Tidak ada yang lain. Seandainya ada, pasti sudah sampai kepada kita.[18]

Ketujuh : Intisari umrah adalah thawaf. Adapun sa’i antara Shafa dan Marwah bersifat menyertai saja. Bukti yang menunjukkannya sebagai penyerta adalah, sa'i tidak dikerjakan kecuali setelah thawaf. Dan ibadah thawaf ini bisa dikerjakan oleh penduduk Mekkah, tanpa harus keluar dari batas tanah suci Mekkah terlebih dahulu. Barangsiapa yang sudah mampu mengerjakan perkara yang inti, ia tidak diperintahkan untuk menempuh wasilah (perantara yang mengantarkan kepada tujuan). [19]

Kedelapan : Berkeliling di Ka’bah adalah ibadah yang dituntut. Adapun menempuh perjalanan menuju tempat halal untuk berniat umrah dari sana merupakan sarana menjalankan ibadah yang diminta. Orang yang menyibukkan diri dengan sarana (menuju tempat yang halal untuk berumrah dari sana) sehingga meninggalkan tujuan inti (thawaf), orang ini telah salah jalan, tidak paham tentang agama. Lebih buruk dari orang yang berdiam di dekat masjid pada hari Jum’at, sehingga memungkinkannya bersegera menuju masjid untuk shalat, tetapi ia justru menuju tempat yang jauh untuk mengawali perjalanan menuju masjid itu. Akibatnya, ia meninggalkan perkara yang menjadi tuntutan, yaitu shalat di dalam masjid tersebut.

Kesembilan : Mereka mengetahui dengan yakin, bahwa thawaf di sekeliling Baitullah jauh lebih utama daripada sa’i. Maka daripada mereka menyibukkan diri dengan pergi keluar ke daerah Tan’im dan sibuk dengan amalan-amalan umrah yang baru sebagai tambahan bagi umrah sebelumnya, lebih baik mereka melakukan thawaf di sekeliling Ka’bah. Dan sudah dimaklumi, bahwa waktu yang tersita untuk pergi ke Tan’im karena ingin memulai ihram untuk umrah yang baru, dapat dimanfaatkan untuk mengerjakan thawaf ratusan kali keliling Ka’bah.

Bahkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menilainya sebagai bid’ah, (sebuah perkara yang) belum pernah dikerjakan oleh generasi Salaf, tidak diperintahkan oleh al Kitab dan as Sunnah. Juga tidak ada dalil syar’i yang menunjukkan status sunnahnya. Apabila demikian adanya, berarti termasuk bid’ah yang dibenci berdasarkan kesepakatan para ulama[20]. Oleh karenanya, para generasi Salaf dan para imam melarangnya.

Sa’id bin Manshur meriwayatkan dalam Sunan-nya dari Thawus, salah seorang murid Ibnu ‘Abbas mengatakan :

مَا أَدْرِيْ أَيُؤْجَرُوْنَ عَلَيْهَا أَمْ يُعَذَّبُوْنَ. قِيْلَ : فَلِمَ يُعَذَّبُوْنَ؟ قَالَ : لِأَنَّهُ يَدَعُ الطَّوَافَ بِالْبَيْتِ . وَيَخْرُجُ إِلَى أَرْبَعَةِ أَمْيَالِ وَيَجِيْئُ وَإِلَى أَنْ يَجِيْئَ مِنْ أَرَبَعَةِ أَمْيَالٍ قَدْ طَافَ مِائَتَيْ طَوَافٍ. وَكُلَّمَا طَافَ بِالْبَيْتِ كَانَ أَفْضَلَ مِنْ أَنْ يَمْشِيَ فِيْ غَيْرِ شَيْئٍ

"Aku tidak tahu, orang-orang yang mengerjakan umrah dari kawasan Tan’im, apakah mereka diberi pahala atau justru disiksa". Ada yang bertanya : “Mengapa mereka disiksa?” Beliau menjawab : “Karena meninggalkan thawaf di Ka’bah. Untuk keluar menempuh jarak empat mil dan pulang (pun demikian). Sampai ia pulang menempuh jarak empat mil, ia bisa berkeliling Ka’bah sebanyak dua ratus kali. Setiap kali ia berthawaf di Ka’bah, itulah yang utama daripada menempuh perjalanan tanpa tujuan apapun”.[21]

‘Atha` pernah berkata : “Thawaf di Ka’bah lebih aku sukai daripada keluar (dari Mekkah) untuk umrah”. [22]

Kesepuluh : Setelah memaparkan kejadian orang yang berumrah berulang-ulang, misalnya melakukannya dua kali dalam sehari, Syaikhul Islam semakin memantapkan pendapatnya, bahwa umrah yang demikian tersebut makruh, berdasarkan kesepakatan para imam. Selanjutnya beliau menambahkan, meskipun ada sejumlah ulama dari kalangan Syafi’iyyah dan ulama Hanabilah yang menilai umrah berulang kali sebagai amalan yang sunnah, namun pada dasarnya mereka tidak mempunyai hujjah khusus, kecuali hanya qiyas umum. Yakni, untuk memperbanyak ibadah atau berpegangan dengan dalil-dalil yang umum.[23]

Di antara dalil yang umum, hadits Nabi:

الْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا

"Antara umrah menuju umrah berikutnya menjadi penghapus )dosa( di antara keduanya" [24].

Tentang hadits ini, Syaikh al 'Utsaimin mendudukkan bahwa hadits ini, mutlak harus dikaitkan dengan apa yang diperbuat oleh generasi Salaf ridhwanullah ‘alaihim [25]. Penjelasannya sudah disampaikan pada point-point sebelumnya. Ringkasnya, tidak ada contoh dari kalangan generasi Salaf dalam melaksanakan umrah yang berulang-ulang.

Kesebelas : Pada penaklukan kota Mekkah, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berada di Mekkah selama sembilan belas hari. Tetapi, tidak ada riwayat bahwa beliau keluar ke daerah halal untuk melangsungkan umrah dari sana. Apakah Nabi tidak tahu bahwa itu masyru’ (disyariatkan)? Tentu saja tidak mungkin![26]

LEBIH BAIK MEMPERBANYAK THAWAF
Berdasarkan alasan-alasan di atas, menjadi jelas bahwa thawaf lebih utama. Adapun berumrah dari Mekkah dan meninggalkan thawaf tidak mustahab. Dan yang disunnahkan adalah thawaf, bukan umrah.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menambahkan : “Thawaf mengelilingi Ka’bah lebih utama daripada umrah bagi orang yang berada di Mekkah, merupakan perkara yang tidak diragukan lagi oleh orang-orang yang memahami Sunnah Rasulullah dan Sunnah Khalifah pengganti beliau dan para sahabat, serta generasi Salaf dan tokoh-tokohnya”.

Alasannya, kata beliau rahimahullah, karena thawaf di Baitullah merupakan ibadah dan qurbah (cara untuk mendekatkan diri kepada Allah) yang paling afdhal yang telah Allah tetapkan di dalam KitabNya, berdasarkan keterangan NabiNya. Thawaf termasuk ibadah paling utama bagi penduduk Mekkah. Maksudnya, yaitu orang-orang yang berada di Mekkah, baik penduduk asli maupun pendatang. Thawaf juga termasuk ibadah istimewa yang tidak bisa dilakukan oleh orang-orang yang berada di kota lainnnya.

Orang-orang yang berada di Mekkah sejak masa Rasulullah dan masa para khulafa senantiasa menjalankan thawaf setiap saat. Dan lagi, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kepada pihak yang bertanggung jawab atas Baitullah, agar tidak menghalangi siapapun yang ingin mengerjakan thawaf pada setiap waktu. Beliau bersabda:

يَا بَنِي عَبْدِ مَنَافٍ لَا تَمْنَعُوا أَحَدًا طَافَ بِهَذَا الْبَيْتِ وَصَلَّى فِيْ أَيِّ سَاعَةٍ شَاءَ مِنْ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ

"Wahai Bani Abdi Manaf, janganlah kalian menghalangi seorang pun untuk melakukan thawaf di Ka'bah dan mengerjakan shalat pada saat kapan pun, baik malam maupun siang" [27]

Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail dengan berfirman :

"Dan bersihkanlah rumahKu untuk orang-orang yang thawaf, yang i'tikaf, yang ruku', dan yang sujud" [al Baqarah/2:125]

Dalam ayat yang lain:

"Dan sucikanlah rumahKu ini bagi orang-orang yang thawaf, dan orang-orang yang beribadah dan orang-orang yang ruku' dan sujud" [al Hajj/22:26]

Pada dua ayat di atas, Allah menyebutkan tiga ibadah di Baitullah, yaitu : thawaf, i’tikaf dan ruku’ bersama sujud, dengan mengedepankan yang paling istimewa terlebih dahulu, yaitu thawaf. Karena sesungguhnya, thawaf tidak disyariatkan kecuali di Baitil ‘Atiq (rumah tua, Ka’bah) berdasarkan kesepakatan para ulama. Begitu juga para ulama bersepakat, thawaf tidak boleh dilakukan di tempat selain Ka'bah. Adapun i’tikaf, bisa dilaksanakan di masjid-masjid lain. Begitu pula ruku' dan sujud, dapat dikerjakan di mana saja. Nabi bersabda:

وَجُعِلَتْ لِيَ الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَ طَهُورًا

"Dijadikan tanah sebagai masjid dan tempat pensuci bagi diriku" [HR. al-Bukhari - Muslim]

Maksudnya, Allah Subhanhu wa Ta'ala mengutamakan perkara yang paling khusus dengan tempat tersebut. Sehingga mendahulukan penyebutan thawaf. Karena ibadah thawaf hanya berlaku khusus di Masjidil Haram. Baru kemudian disebutkan i’tikaf. Sebab bisa dikerjakan di Masjidil Haram dan masjid-masjid lainnya yang dipakai kaum Muslimin untuk mengerjakan shalat lima waktu. Selanjutnya, disebutkan ibadah shalat. Karena tempat pelaksanaannya lebih umum.

Selain itu, thawaf merupakan rangkaian manasik yang lebih sering terulang. Disyariatkan thawaf Qudum bagi orang yang baru sampai di kota Mekkah. Dan disyariatkan thawaf Wada’ bagi orang yang akan meninggalkan kota Mekkah usai pelaksanaan manasik haji. Disamping keberadaan thawaf ifadhah yang menjadi salah satu rukun haji.[28]

Secara khusus, tentang keutamaan thawaf di Baitullah, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ طَافَ بِهَذَا الْبَيْتِ سَبْعًا كَعِدْلِ رَقَبَةٍ

"Barangsiapa mengelilingi rumah ini (Ka’bah) tujuh kali, seperti membebaskan satu budak belian" [29].

Kesimpulannya : Memperbanyak thawaf merupakan ibadah sunnah, lagi diperintahkan. Terutama bagi orang yang datang ke Mekkah. Jumhur ulama berpendapat, thawaf di Ka’bah lebih utama dibandingkan shalat di Masjidil Haram, meskipun shalat di sana sangat besar keutamaannya.[30]

Pendapat yang mengatakan tidak disyari’atkan melakukan thawaf berulangkali, inilah yang ditunjukkan oleh Sunnah Nabawiyah yang bersifat ‘amaliyah, dan didukung oleh fi’il (perbuatan) para sahabat Radhiyallahu 'anhum. Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan kita agar mengikuti Sunnah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dan sunnah para khalifahnya sepeninggal beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Yaitu beliau bersabda : Hendaklah kalian berpegang teguh dengan Sunnahku dan sunnah para khalifah yang mendapat petunjuk dan terbimbing sepeninggalku. Hendaklah kalian menggigitnya dengan gigi gerahammu. [Sunan Abu Dawud, II/398, no. 4607; Ibnu Majah, I/16, no. 42 dan 43; Tirmidzi, V/43, no. 2673; Ahmad, IV/26.] [31]

Oleh karena itu, ketika berada di Mekkah sebelum atau sesudah pelaksanaan haji, yang paling baik bagi kita ialah memperbanyak thawaf, daripada melakukan perbuatan yang tidak ada contohnya. Wallahu a'lam bish-shawab.

Maraji :
- Al Wajiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitabil ‘Aziz, Dr Abdul 'Azhim Badawi Dar Ibni Rajab, Cet. III, Th. 1421 H – 2001 M.
- Fatawa li Ahlil Haram, susunan Dakhil bin Bukhait al Mutharrifi.
- Syarhul Mumti’ ‘ala Zadil Mustaqni’, Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin, Muassasah A-sam, Cet. I, Th. 1416 H – 1996 M.
- Majmu al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Cet. I, Th. 1423 H. Tanpa penerbit.
- Zadul Ma’ad fi Hadyi Khairil ‘Ibad, Muhammad bin Abi Bakr Ibnul Qayyim. Tahqiq Syu’aib al Arnauth dan ‘Abdul Qadir al Arnauth, Muassasah ar Risalah, Cet. III, Th. 1421 H – 2001 M.
- Shahih Sunan an Nasaa-i, Muhammad Nashiruddin al Albani, Maktabah Ma'arif, Cet. I, Th. 1419H –1998M.
- Shahih Sunan at Tirmidzi, Muhammad Nashiruddin al Albani, Maktabah Ma'arif Cet. I, Th. 1419H – 1998M.
- Shahih Sunan Ibni Majah, Muhammad Nashiruddin al Albani, Maktabah Ma'arif, Cet. I, Th. 1419H – 1998M.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun X/1427H/2006. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_________
Footnotes
[1]. Fatawa al 'Utsaimin, 2/668.
[2]. Lihat penjelasan Dr. Muhammad bin Abdir Rahman al Khumayyis dalam adz Dzikril Jama’i Bainal Ittiba’ wal Ibtida’, halaman 7-8.
[3]. Shahih. Lihat Shahih Sunan at Tirmidzi, no. 816; Shahih Sunan Ibni Majah, no. 2450.
[4]. Zadul Ma’ad, 2/89.
[5]. Umrah ini dikenal dengan nama umrah Qadha` atau Qadhiyah, karena kaum muslimin telah mengikat perjanjian dengan kaum Quraisy. Bukan untuk mengqadha (menggantikan) umrah tahun sebelumnya yang dihalangi oleh
kaum Quraisy. Karena umrah tersebut tidak rusak sehingga tidak perlu diganti. Buktinya, Nabi tidak memerintahkan para sahabat yang ikut serta dalam umrah pertama untuk mengulanginya kembali pada umrah ini. Oleh sebab itu, para ulama menghitung jumlah umrah Nabi sebanyak empat kali. Demikian penjelasan as Suhaili. Pendapat inilah yang dirajihkan oleh Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma’ad, 2/86.
[6]. Majmu al Fatawa, 26/253-254; Zadul Ma’ad, 2/86.
[7]. Majmu ‘ al Fatawa, jilid 26. Pembahasan tentang umrah bagi orang-orang yang berada di Mekkah terdapat di halaman 248-290; asy Syarhul Mumti’, 7/407.
[8]. Fatawa al 'Utsaimin, 2/668, dikutip dari Fatawa li Ahlil Haram.
[9]. Majmu' al Fatawa, 26/252.
[10]. Majmu’ al Fatawa, 26/254.
[11]. Lihat Majmu’ al Fatawa, 26/256. 273.
[12]. Zaadul Ma’ad, 2/89.
[13]. Majmu' al Fatawa, 26/252.
[14]. Zaadul Ma’ad, 2/163.
[15]. Dikutip dari al Wajiz, halaman 268.
[16]. Atha bin Abi Rabah Aslam al-Qurasyi al Fihri, dari kalangan generasi Tabi'in. Berguru kepada sejumlah sahabat Nabi. Diantara mereka, Jabir bin Abdillah, Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Abu Sa'id al Khudri, Abdullah bin Amr bin al Ash, Abdullah bin Zubair. Seorang Mufri Mekkah di zamannya dan dikenal sebagai orang yang paling tahu tentang manasik haji. Wafat tahun 114H
[17]. Thawus bin Kaisan al Yamani, berdarah Persia, dari kalangan generasi Tabi'in, berguru kepada sejumlah sahabat, mislnya, Ibnu Abbas, Jabir bin Abdillah, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Muad bin Jabal. Aisyah seorang ahli fiqih di zamannya. Wafat tahun 106H
[18]. Majmu' al Fatawa, 26/256-258.
[19]. Ibid, 26/262.
[20]. Ibid, 2/264.
[21]. Ibid, 26/264.
[22]. Ibid, 26/266.
[23]. Ibid, 26/270.
[24]. HR al Bukhari, no. 1773 dan Muslim, no. 1349.
[25]. Asy Syarhul Mumti’, 7/408.
[26]. Fatawa al 'Utsaimin, 2/668, dikutip dari Fatawa li Ahlil Haram.
[27]. Shahih, hadits riwayat at Tirmidzi, 869; an Nasaa-i, 1/284; Ibnu Majah, 1254
[28]. Majmu’ al Fatawa, 26/250-252 secara ringkas.
[29]. Shahih. Lihat Shahih Sunan an Nasaa-i, no. 2919.
[30]. Majmu' al Fatawa, 26/290.
[31]. Al Wajiz, halaman 268.

Muslim.or.id

Video Kenangan Haji Klego 2009

Video Kenangan Haji Klego 2009 saat di Madinah


Video Kenangan Haji Klego 2009 saat di Mekah dan Pelaksanaan Umrah dan Haji


Kenangan Haji Klego 2009 saat di Mekah dan Pemulangan ke Tanah Air

Kamis, 05 Agustus 2010

Nasehat Saudaraku Setelah Haji


Segala puji bagi Allah SWT yang telah menunjukkan jalan yang lurus kepada hamba-hamba-Nya, shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wassalam, pemilik telaga dan kedudukan yang agung,  demikian pula keluarga, sahabat, dan orang-orang yang mengikuti mereka kepada jalan yang lurus, wa ba'du:
            Wahai saudaraku yang telah melaksanakan haji:
Apabila para jama'ah haji telah berniat untuk pulang kembali menuju tanah airnya, mereka akan teringat bapak, ibu, istri, anak, dan saudara, sehingga ia membawakan hadiah untuk mereka. Barang siapa yang memiliki harta berlimpah, ia akan membawa berbagai macam barang untuk diperdagangkan, orang yang berhaji diperbolehkan untuk melakukan hal tersebut berdasarkan firman Allah SWT:

" لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَبْتَغُوا فَضْلاً مِّن رَّبِّكُمْ فَإِذَآ أَفَضْتُم مِّنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوا اللهَ عِندَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ وَاذْكُرُوهُ كَمَا هَدَاكُمْ وَإِن كُنتُم مِّن قَبْلِهِ لَمِنَ الضَّآلِّينَ "

"Tidak ada dosa bagimu mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Rabbmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari 'Arafat, berzikirlah kepada Allah di Masy'aril haram. Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang -orang yang sesat" (QS. Al-Baqarah: 198)
Imam al-Qurthubi rahimahullah berkata: [Ayat ini merupakan dalil bolehnya melakukan bisnis bagi orang yang melaksanakan ibadah haji saat berhaji sambil melakukan ibadah, dan sesungguhnya hal itu bukan merupakan perbuatan syirik dan tidak pula keluar dari tuntutan keikhlasan yang dibebankan kepadanya, Ad-Daraquthni rahimahullah meriwayatkan dalam sunannya dari Abu Umamah at-Taimi rahimahullah: aku berkata kepada Ibnu Umar t: (Sesungguhnya aku seorang laki-laki yang bekerja di jalur ini (berbisnis), dan orang-orang berkata: Sesungguhnya tidak ada haji untukmu. maka Ibnu Umar t berkata: Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah r kemudian bertanya kepada beliau seperti apa yang engkau tanyakan, lalu Rasulullah r terdiam sampai diturunkannya ayat:
[ لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَبْتَغُوا فَضْلاً مِّن رَّبِّكُمْ]
"Tidak ada dosa bagimu mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Rabbmu"
Kemudian Rasulullah r bersabda: "Sesungguhnya ada pahala haji untukmu"
            Saudaraku yang menunaikan haji: sesungguhnya mengambil dari dunia sekadar batas kebutuhan tidak akan mempengaruhi keikhlasan, akan tetapi bagaimana perasaanmu saat meninggalkan tempat-tempat suci tersebut? Apakah engkau mengetahui wahai saudaraku, bahwasanya Rasulullah r memerintahkan kepada semua orang agar tidak meninggalkan kota Makkah sebelum melaksanakan thawaf wada' (thawaf perpisahan)? Dari Abdullah bin Abbas t, ia berkata: [Orang-orang berpaling (meninggalkan kota Makkah) dari segenap penjuru], maka Rasulullah r bersabda:
" لاَيَنْفِرَنَّ أَحَدٌ حَتَّى يَكُوْنَ آخِرَ عَهْدِهِ بِاْلبَيْتِ "
"Janganlah seseorang pergi (meninggalkan Makkah) sehingga mengakhiri ibadahnya di Baitullah (thawaf wada')" HR. Muslim
            Saudaraku yang menunaikan haji: seperti inilah Rasulullah r memerintah para sahabatnya saat akan meninggalkan Baitullah yang mulia, yaitu agar mereka melakukan thawaf perpisahan sebelum meninggalkan kota Makkah, saat itu hati dan pandangan mata mereka telah dipenuhi keagungan Baitullah tersebut–semoga Allah I menambah kemuliaannya-.
            Dan anda wahai saudaraku: apakah yang anda rasakan saat bersiap-siap untuk meninggalkan tempat yang suci tersebut?
            Saudaraku: tidak diragukan lagi bahwa meninggalkan tempat yang suci tersebut terasa sangat berat di hati, terutama jiwa yang ikhlas karena Allah SWT saat menunaikan ibadah haji.
            Kemudian wahai saudaraku yang menunaikan haji: ingatlah, pada saat anda meninggalkan Baitullah yang agung, sesungguhnya anda tadinya berada dalam hari-hari beribadah kepada Allah swt dan musim-musim pendekatan diri kepada-Nya, dan betapa membahagiakannya saat-saat tersebut, akan tetapi wahai saudaraku: apakah keta'atan akan menjadi terhenti saat anda pulang menuju tanah airmu? Dan anda teringat akan dirimu pada saat sedang berada dihadapan Allah SWT, disisi rumah-Nya yang agung, juga hari Arafah dan kehebatannya, serta hari-hari Mina dan keagungannya.
            Saudaraku: bagaimana mungkin anda dapat menggantikan kondisimu dengan yang lain? Oleh karena itu konsistenlah dalam keta'atan, bukalah lembaran baru dalam kehidupanmu, agar bisa mendapatkan ciri-ciri haji yang mabrur. Al-Hasan al-Bashari rahimahullah berkata: [Haji mabrur adalah: orang yang melaksanakan ibadah haji pulang dalam keadaan zuhud terhadap dunia dan senang terhadap akhirat].
Sebagian ulama berkata: Di antara tanda haji mabrur adalah bahwa hal itu nampak diakhirnya, jika ia pulang menjadi lebih baik dari sebelumnya, diketahuilah bahwa ia mendapatkan haji mabrur.
            Kemudian ada hal lain wahai saudaraku yang telah berhaji: pada saat anda meninggalkan Baitullah, memohonlah kepada Allah agar ini tidak menjadi saat yang terakhir bagimu di Baitullah, karena sesungguhnya menyambung keta'atan termasuk dari sebab-sebab ketetapan (iman dan ibadah), sebagaimana juga bahwa menyambung kemaksiatan termasuk dari sebab-sebab kesesatan dan penyimpangan.
            Saudaraku: istiqamah anda dalam keta'atan merupakan kunci keberuntungan untuk hari persidangan besar, inilah Nabi kita Muhammad shalallahu alaihi wassalam pernah ditanya: [Amal apakah yang paling dicintai oleh Allah?] Beliau menjawab: "Yang terus menerus, sekalipun hanya sedikit" HR. Muslim
            Saudaraku yang telah menunaikan haji: sesungguhnya diantara tanda keshalihan adalah terus menerus (istiqamah) diatas keta'atan, sekalipun hanya sedikit. Saudaraku, inilah permata tak ternilai yang aku persembahkan, yaitu: hendaklah anda memperbanyak amal shaleh, beriltizam dan menekuninya, janganlah menganggap remeh hal tersebut, semoga Allah I menetapkan husnul khatimah untukmu, dan memelihara keberkahan hajimu.
            Saudaraku: janganlah anda menjadi seperti orang-orang yang tidak pernah mengingat keta'atan kecuali hanya pada musim-musim tertentu, dan apabila musim itu telah berlalu, mereka kembali kepada kondisi sebelumnya. 'Alqamah t bertanya kepada 'Aisyah radhiyallahu 'anha: [Wahai Ummul Mukminin, bagaimana amalan Rasulullah shalallahu alaihi wassalam, apakah beliau shalallahu alaihi wassalam menentukan hari tertentu (untuk beribadah)?] Ia menjawab: Tidak, ibadahnya terus menerus, siapakah diantaramu yang mampu seperti Rasulullah shalallahu alaihi wassalam? HR. al-Bukhari
            Muhammad bin al-Qasim meriwayatkan dari 'Aisyah radhiyallahu 'anha: bahwasanya apabila dia (Aisyah) mengamalkan sesuatu, ia menekuninya.
            Saudaraku yang telah melaksanakan haji: anda harus sabar dalam keta'atan ketika meneruskan perjalanan hidupmu yang baru, dan bersabarlah pula dalam meninggalkan maksiat, karena sesungguhnya bersabar dalam melaksanakan ibadah dan meninggalkan maksiat merupakan tingkatan sabar yang tertinggi, Maimun bin Mihran rahimahullah berkata: [Sabar terbagi dua: sabar atas musibah merupakan suatu kebaikan, dan yang lebih utama dari hal itu adalah sabar dalam meninggalkan maksiat].
            Dan janganlah anda wahai saudaraku yang melaksanakan haji, termasuk dari orang-orang yang dikatakan oleh Ibnu al-Qayyim rahimahullah: [Orang-orang yang tercela adalah mereka yang paling sabar dalam menuruti keinginan hawa nafsu dan syahwat mereka, dan paling tidak sabar dalam ibadah kepada Rabb mereka, ia memiliki kesabaran yang luar biasa dalam menuruti keinginan syetan, dan tidak sabar untuk berkorban dalam beribadah kepada Allah I dalam perkara yang paling ringan, ia sangat sabar dalam memikul beban yang berat untuk mengikuti hawa nafsunya agar mendapatkan ridha musuhnya dan ia tidak sanggup menahan sabar untuk mendapatkan ridha Rabb-nya].
            Ia adalah orang yang paling sabar untuk berkorban dalam menuruti kemauan syetan dan hawa nafsunya, dan paling tidak sabar dalam hal itu kepada Allah I, ini adalah celaan yang paling besar, ia tidak akan mulia di sisi Allah I dan tidak berdiri bersama orang-orang mulia saat dipanggil di hari kiamat, yang disaksikan seluruh umat manusia, agar semua yang berkumpul mengetahui, siapakah yang paling mulia pada hari ini dan dimana orang-orang yang bertaqwa.
            Saudaraku yang telah  melaksanakan haji: sesungguhnya kesudahan bagi orang-orang yang bersabar adalah surga:

" وَالَّذِينَ صَبَرُوا ابْتِغَآءَ وَجْهِ رَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلاَةَ وَأَنفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلاَنِيَةً وَيَدْرَءُونَ بِالْحَسَنَةِ السَّيِّئَةَ أُوْلَئِكَ لَهُمْ عُقْبَى الدَّارِ {22} جَنَّاتُ عَدْنٍ يَدْخُلُونَهَا وَمَن صَلَحَ مِنْ ءَابَآئِهِمْ وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ وَالْمَلاَئِكَةُ يَدْخُلُونَ عَلَيْهِم مِّن كُلِّ بَابٍ {23} سَلاَمٌ عَلَيْكُم بِمَا صَبَرْتُمْ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ "

"Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Rabbnya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rejeki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik), (22) (yaitu) surga 'Adn yang mereka masuk kedalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya, istri-istrinya dan anak cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu; (23) (sambil mengucapkan):"Salamun 'alaikum bima shabartum".Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu" (QS. Ar-Ra'ad:22-24)
Firman-Nya (Salamun 'alaikum bima shabartum), Fudhail bin 'Iyadh rahimahullah berkata: [Mereka bersabar terhadap apa-apa yang diperintahkan kepada mereka dan bersabar untuk meninggalkan segala yang mereka dilarang atasnya].
            Saudaraku: secara tabi'at jiwa ini menyukai sifat malas dan senang istirahat, maka janganlah anda menuruti keinginannya, supaya setan tidak mendapatkan jalan kepadamu. Al-Hasan al-Bashari rahimahullah berkata: [Apabila setan memperhatikanmu, lalu ia melihatmu tekun dalam keta'atan kepada Allah I, maka ia menghendaki dan menginginkanmu, tatkala ia melihatmu tekun dalam ibadah, maka ia jemu dan menolakmu, sedangkan jika anda terkadang seperti ini dan terkadang seperti itu, niscaya ia sangat berharap padamu].
Saudaraku yang menunaikan haji: ketika datang dari hajimu, maka sesungguhnya masih dekat masamu dengan ibadah kepada Allah swt, sehingga apabila anda menyambung perbuatan tersebut maka akan diharapkan adanya kebaikan padamu, oleh karena itu bersegeralah dengan semangatmu tersebut sebelum datangnya rasa malas dan jemu, dan apabila anda cenderung kepada rasa malas, niscaya nafsu ammarah (yang selalu menyuruh berbuat jahat) akan menguasaimu untuk berbuat keburukan dan anda langsung dikuasai setan, sehingga sirnalah hajimu bersama tiupan angin, dari Huraisy bin Qais rahimahullah, ia berkata: [Apabila engkau ingin melakukan suatu kebaikan, maka janganlah menundanya sampai besok hari, apabila engkau mengerjakan urusan dunia, maka perlahanlah, dan apabila engkau melaksanakan shalat, lalu setan berkata kepadamu: (sesungguhnya engkau berbuat karena riya), maka panjangkanlah shalatmu tersebut].
            Saudaraku yang telah berhaji: bersegeralah, bersegeralah,  janganlah anda berkata: Akan saya lakukan, akan saya kerjakan, inilah Tsumamah bin Bajad as-Salami rahimahullah berpesan kepada kaumnya: [Wahai kaumku, aku memperingatkan kalian (dari ucapan) saya akan mengerjakan, saya akan shalat, saya akan berpuasa].
            Saudaraku yang telah berhaji: berjuanglah terhadap dirimu, dan janganlah anda menjadi lemah, sebagaimana ketika berjuang pada hari-hari anda berada di tempat yang suci tersebut.
" وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ "
"Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik" (QS. Al-Ankabuut: 69)
" فَأَمَّا مَن طَغَى {37} وَءَاثَرَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا {38} فَإِنَّ الْجَحِيمَ هِيَ الْمَأْوَى {39} وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى {40} فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى "
"Adapun orang yang melampaui batas, (37) dan lebih mengutamakan kehidupan dunia (38) maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya). (39) Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabbnya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya (40) maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya)" (QS. An-Nazi’aat: 37-41)
            Saudaraku yang telah berhaji: hendaklah untuk tidak meninggalkan memperbanyak berdo'a kepada Allah swt, agar Dia selalu menetapkan anda dalam keta'atan, perbanyaklah untuk memelas dan menghadap Allah, agar Dia meluruskan langkahmu dan anda senantiasa menjalani jalur agama-Nya yang benar. Rasulullah shalallahu alaihi wassalam memperbanyak do'a kepada Allah swt agar menetapkannya di atas agama-Nya, Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha ditanya tentang do'a terbanyak yang dilakukan oleh Nabi saw, ia menjawab: [Kebanyakan doa beliau shalallahu alaihi wassalam Wahai Dzat Yang membolak-balikan hati, tetapkanlah hatiku berada diatas agama-Mu” tatkala ditanya tentang hal itu? Beliau menjawab:
" إِنَّهُ لَيْسَ آدَمِيٌ إِلاًّ قَلْبُهُ بَيْنَ أُصْبُعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ الرَّحْمنِ, فَمَنْ شَاءَ أَقَامَ وَمَنْ شَاءَ أَزَاغَ "
Sesungguhnya tidak ada manusia kecuali hatinya berada di antara dua jari di antara jemari ar-Rahman, barangsiapa yang Dia kehendaki maka Dia akan menetapkannya (diatas kebenaran), dan barangsiapa yang dikehendaki-Nya, maka Dia akan menyesatkannya (dari jalan kebenaran)” (HR. At-Tirmidzi, Ahmad dan Ibnu Abi Syaibah, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah. 2091)
Dan dalam satu riwayat: Nabi shalallahu alaihi wassalam bersabda:
" يَا مُثَبِّتَ الْقُلُوْبِ ثَبِّتْ قُلُوْبَنَا عَلَى دِيْنِكَ "
 "Wahai yang menetapkan semua hati, tetapkanlah hati kami di atas agama-Mu" (HR. Ibnu Majah: Shahih Sunan Ibnu Majah, karya al-Albani: 166).
Wahai saudaraku yang telah berhaji: apabila Nabi saw selalu meminta kepada Rabb-nya agar menetapkannya di atas agama-Nya, dan beliau telah melihat dari tanda-tanda Rabb sesuatu yang cukup untuk menetapkan hatinya di dalam agama Allah swt, maka bagaimanakah dengan kita?!! Inilah anda wahai saudaraku, berada pada zaman yang banyak sekali fitnah dan sebab-sebab penyimpangan, pada era yang mungkin saja tidak dapat menemukan para penolong di atas kebenaran, bahkan apabila mereka melihat anda beristiqamah diatas jalur agama, mereka akan memperolok dan memperdengarkan kepadamu segala yang buruk, akan tetapi orang beriman merasa yakin kalau ia berada dalam janji Rabb-nya sehingga tidak menoleh kepadanya. Oleh karena itu anda wahai saudaraku harus memperbanyak do'a kepada Allah swt agar menetapkan dirimu berada diatas agama-Nya, jadikanlah do'amu dengan hati yang ikhlas, kenalilah kenikmatan keta'atan dan berbahagialah dengan kedekatan kepada-Nya, janganlah anda berdo'a seperti do'anya orang yang lalai, yang tidak memahami apa yang dia ucapkan, karena sesungguhnya anda wahai saudaraku yang melaksanakan haji, membutuhkan ketetapan diatas keta'atan kepada Allah swt, sehingga anda dapat memetik buah hajimu dan merasakan keberkahannya.
            Wahai saudaraku yang melaksanakan haji: ada persoalan penting yang ingin saya sebutkan bersamaan dengan kepulangan anda menuju tanah airmu, yaitu: janganlah anda memandang terhadap diri sendiri seperti pandangan orang-orang yang tertipu, yaitu orang-orang yang apabila mengerjakan sedikit saja keta'atan, mereka akan menganggap diri mereka seolah-olah manusia paling mulia dimuka bumi, akan tetapi: lihatlah kepada dirimu dengan pandangan kekurangan, karena sesungguhnya sebanyak apapun amal shalih yang anda kerjakan, maka ia tidak bisa digunakan untuk mensyukuri kenikmatan terkecil yang Allah anugerahkan terhadap anda. Apabila anda ingin mengetahui tentang keadaan orang-orang shaleh setelah mereka melaksanakan ibadah, maka renungkanlah bersama saya tentang cerita-cerita mereka, agar anda dapat mengetahui bahwa hamba-hamba Allah swt yang ikhlas selalu mengakui kekurangan. Inilah Abu Bakar ra setelah memangku jabatan khalifah, ia menyampaikan pidatonya yang terkenal setelah pelantikan dirinya: [Wahai manusia, aku telah diangkat sebagai pemimpin kalian, sedangkan aku bukanlah yang terbaik diantara kalian...”
            Al-Hasan al-Bashari rahimahullah berkata: [Bahkan, demi Allah, dia (Abu Bakar ra) adalah yang terbaik diantara mereka, akan tetapi orang beriman selalu mengakui kekurangan atas dirinya sendiri].
            Muhammad bin ‘Atha menceritakan kepada kita: [Aku sedang duduk bersama Abu Bakar ra, lalu ia melihat seekor burung, kemudian berkata: [Alangkah beruntungnya engkau wahai burung, engkau makan dari pohon ini, kemudian engkau mengeluarkannya (buang air), kemudian engkau tidak menjadi sesuatu, tidak ada hisab atasmu, aku ingin menjadi sepertimu]. Aku berkata kepadanya: [Apakah anda mengatakan hal seperti ini, sedangkan anda adalah orang terdekat dengan Rasulullah shalallahu alaihi wassalam?!!].
            Inilah al-Faruq Umar bin Khaththab ra berkata: [Jikalau penyeru berseru dihari kiamat: (Wahai sekalian manusia, masuklah ke dalam surga kecuali satu orang), niscaya aku menduga bahwa satu orang itu adalah aku].
            Wahai saudaraku yang melaksanakan haji: inilah Rasulullah shalallahu alaihi wassalam mengajarkan kepada kita bagaimana cara untuk beribadah kepada Allah swt, Beliau beribadah di malam hari hingga bengkak kedua kakinya, apabila mereka bertanya akan hal tersebut, beliau akan menjawab:
" أَفَلَا أَكُوْنُ عَبْدًا شَكُوْرًا "
"Apakah aku tidak boleh untuk menjadi hamba yang sangat bersyukur?" HR. Al-Bukhari
Dan Nabi saw bersabda:
" وَاللهِ إِنِّي لَأَسْتَغْفِرُ الله وَأَتُوْبُ إِلَيْهِ فِى الْيَوْمِ أَكْثَرَ مِنْ سَبْعِيْنَ مَرَّةً "
Demi Allah, sesungguhnya aku meminta ampun dan bertaubat kepada Allah swt dalam sehari lebih dari tujuh puluh kali" HR. al-Bukhari
            Bagaimana pendapatmu wahai saudaraku, apabila Rasulullah shalallahu alaihi wassalam yang padahal Allah swt telah mengampuni dosanya yang terdahulu dan yang akan datang, sedangkan beliau beribadah kepada Rabb-nya dengan cara seperti ini, pantaskah bagi seseorang setelahnya untuk mengatakan: Aku telah beribadah kepada Allah swt dengan sebenarnya?!!
            Wahai saudaraku: tekanlah nafsumu dengan sebenarnya niscaya ia menjadi lurus untukmu, dan apabila anda memandang kepadanya dengan pandangan sempurna, niscaya ia akan menjadikanmu lalai sehingga kekurangan dalam menunaikan kewajiban akan memasukimu.
            Kemudian wahai saudaraku yang telah berhaji: aku akan menunjukkan kepadamu obat mujarab untuk mengobati penyakit malas dalam melaksanakan rutinitas keta'atan, apabila anda mengambilnya niscaya ia akan memberikan pengaruh yang mengagumkan. Tahukah anda obat apakah itu? Sesungguhnya ia adalah kematian, ingatlah wahai saudaraku, sesungguhnya anda akan berangkat meninggalkan dunia ini menuju suatu negeri yang akan dibalas padanya orang-orang yang berbuat baik dan yang berbuat jahat, apabila anda menginginkan untuk terus merasakan berkah hajimu, maka ingatkanlah dirimu dengan kematian, karena sesungguhnya ia pada saat itu akan segera untuk melaksanakan amal shalih dan giat dalam beribadah kepada Allah swt, inilah Nabi saw mengajarkan kepada Abdullah bin Umar ra tentang obat yang mengagumkan ini, beliau memegang bahunya dan bersabda kepadanya:
" كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيْبٌ أَوْ عَاِبرُ سَبِيْلٍ "
Jadikanlah dirimu di dunia ini bagaikan orang asing atau yang sedang menyebrang jalan 
lalu Ibnu Umar ra berkata: [Apabila engkau berada di sore hari, maka janganlah menunggu hingga pagi, dan apabila engkau berada di pagi hari maka janganlah engkau menunggu hingga sore, ambilah kesempatan sehatmu untuk saat sakitmu, dan ambilah kesempatan hidupmu untuk saat matimu]. HR. al-Bukhari
Iman an-Nawawi rahimahullah berkata: [Pengertian hadits tersebut adalah: janganlah engkau cenderung kepada dunia, dan janganlah engkau jadikan dunia sebagai tanah airmu, janganlah engkau berbicara kepada dirimu untuk dapat hidup kekal padanya, dan janganlah engkau bergantung darinya dengan apa-apa yang tidak dilakukan oleh orang asing (pengelana) yang tidak bergantung kepada selain tanah airnya].
            Saudaraku: Hasan al-Bashari rahimahullah berkata: [Bersegerah, bersegeralah, sesungguhnya itulah napasmu, jika telah dihisab niscaya ia akan terputus darimu amal ibadahmu yang dengannya kamu mendekatkan diri kepada Allah swt, semoga Allah swt memberikan rahmat-Nya kepada seseorang yang merenungkan dirinya dan menangisi dosanya, kemudian ia membaca firman Allah swt:
 إِنَّمَا نَعُدُّ لَهُمْ عَدًّا ""
"karena sesungguhnya Kami hanya menghitung datangnya (hari siksaan) untuk mereka dengan perhitungan yang teliti" (QS. Maryam: 84), Kemudian ia menangis dan berkata: [Saudaraku, hitungan: keluarnya ruhmu, hitungan terakhir: engkau berpisah dengan keluargamu, hitungan terakhir: masuknya engkau ke dalam kuburmu].
            Saudaraku yang telah melaksanakan haji: Inilah Umar bin Abdul Aziz rahimahullah berkata: [Kematian ini menahan penduduk dunia dari kenikmatan dunia dan perhiasaannya yang mereka nikmati, sehingga tatkala mereka dalam keadaan seperti itu kematian datang menjemputnya, maka celaka dan merugilah orang yang tidak takut mati dan tidak mengingatnya di saat senang sehingga dapat memberikan kebaikan yang akan didapatinya setelah ia meninggalkan dunia dan para penghuninya]. Kemudian ia (Umar bin Abdul Aziz) dikalahkan oleh tangisnya dan berdiri.
            Saudara-saudaraku, sampai kapankah anda akan menunda amal, merasa tamak dalam mencapai angan-angan, tertipu oleh kesempatan serta melupakan serangan kematian? Ketahuilah bahwa apa saja yang anda lahirkan adalah untuk tanah, apapun yang anda bangun adalah untuk kehancuran, apa saja yang anda kumpulkan adalah untuk kesirnaan, dan apapun yang anda perbuatan akan tetap tersimpan dalam kitab catatan amal hingga hari penghitungan.
            Saudaraku yang telah melaksanakan haji: aku telah memaparkan kepadamu apa yang tersimpan dalam sanubariku, dan aku telah memberikan kepadamu hadiah yang berharga ini, maka renungkanlah ia, kemudian aku memohon kepada Allah swt agar menetapkan aku dan juga anda diatas agama-Nya yang benar, serta memberikan kepadaku dan juga anda kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Sumber : Islamhouse.com